TARAKAN, Headlinews.id – Langkah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tarakan yang mendorong Dinas Lingkungan Hidup (DLH) melakukan penelitian ulang terhadap dugaan pencemaran laut oleh PT PRI mendapat dukungan penuh dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kalimantan Utara.
Ketua KNTI Kaltara, Rustan, menilai persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Menurutnya, izin operasional PT PRI sejak awal sudah bermasalah karena dikeluarkan tanpa memastikan kelengkapan syarat penting, termasuk dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Hal tersebut menjadi salah satu celah yang membuat aktivitas perusahaan rawan menimbulkan persoalan lingkungan.
“Seharusnya semua uji dilakukan terlebih dahulu sebelum izin dikeluarkan. Bukan perusahaan sudah berjalan baru dilakukan penelitian,” tegas Rustan.
Rustan menambahkan, nelayan dan masyarakat pesisir adalah pihak pertama yang merasakan keresahan akibat aktivitas perusahaan tersebut. Meski dampaknya belum sepenuhnya terlihat secara kasat mata, ia memperingatkan jika pencemaran benar terjadi, maka ekosistem laut di sekitar Tarakan akan terganggu. Hal itu akan langsung berimbas pada hasil tangkapan nelayan yang menjadi sumber utama penghidupan ribuan keluarga di pesisir.
Lebih jauh, Rustan juga menyoroti ketidakjelasan hasil uji sampel pertama yang dilakukan DLH. Menurutnya, fakta bahwa DPRD sampai harus turun tangan dengan melakukan penelitian ulang memperlihatkan adanya keraguan terhadap transparansi laporan awal.
“Kalau hasil penelitian awal sudah jelas baik, tidak perlu ada penelitian ulang. Ini menimbulkan kecurigaan ada kejanggalan,” katanya.
Ia menekankan bahwa PT PRI bukanlah industri kecil, melainkan perusahaan besar dengan kapasitas produksi tinggi. Kondisi ini membuat potensi pencemaran yang ditimbulkan jauh lebih serius dan harus diawasi secara ketat. Rustan juga mempertanyakan adanya perbedaan hasil uji sampel laboratorium yang beredar, sehingga membuat masyarakat semakin bingung.
“Dualisme hasil laboratorium hanya membuat masyarakat bingung. Mana yang benar, pro-rakyat atau pro-perusahaan? Hal ini semakin menurunkan kepercayaan nelayan,” tandasnya.
Selain itu, Rustan menilai alasan kontribusi investasi perusahaan tidak sebanding dengan potensi kerugian yang ditanggung nelayan dan masyarakat pesisir. Menurutnya, jumlah tenaga kerja yang direkrut perusahaan hanya sebagian kecil dibandingkan jumlah nelayan tradisional yang terancam kehilangan mata pencaharian jika laut tercemar.
“Jumlah pekerja yang direkrut perusahaan jauh lebih sedikit dibandingkan nelayan yang terdampak. Kalau memang terbukti mencemari, lebih baik ditutup saja,” ujarnya menegaskan.
KNTI berharap pemerintah daerah maupun pusat segera mengambil langkah konkret agar persoalan ini tidak berlarut-larut. Rustan mengingatkan, persoalan pencemaran laut bukan hanya menyangkut soal lingkungan, tetapi juga menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat pesisir, kedaulatan pangan, hingga kepercayaan publik terhadap pemerintah.
“Jangan sampai ada pembiaran. Pemerintah harus benar-benar serius dan jeli dalam menanganinya, karena ini menyangkut masa depan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir Kalimantan Utara,” tutupnya.(*)