TARAKAN, Headlinews.id– Setelah sempat menjadi buronan internasional selama hampir satu tahun, Juliet Kristianto Liu, Komisaris Utama PT Pipit Mutiara Jaya (PMJ), akhirnya resmi dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Bulungan oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri, Rabu (8/10/2025).
Pelimpahan tahap dua ini menandai beralihnya tanggung jawab penanganan perkara dari kepolisian ke jaksa penuntut umum (JPU). Juliet diduga menjadi otak di balik aktivitas tambang batubara ilegal di Kecamatan Sesayap Hilir, Kabupaten Tana Tidung, yang menyebabkan kerusakan lingkungan serius dan kerugian negara mencapai miliaran rupiah.
Kasi Penerangan Hukum (Penkum) Kejaksaan Tinggi Kalimantan Utara (Kejati Kaltara), Andi Sugandi, menjelaskan setelah pelimpahan dilakukan, Juliet langsung ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Tarakan.
Penahanan dilakukan di Tarakan lantaran Kabupaten Bulungan belum memiliki fasilitas lapas yang memadai untuk menampung tahanan perkara besar seperti ini.
“Setelah serah terima selesai, penahanan sepenuhnya menjadi kewenangan jaksa penuntut umum,” ujar Andi.
Menurutnya, pelimpahan perkara dilakukan di Kejari Bulungan untuk menyesuaikan dengan asas kesetaraan hukum. Hal itu lantaran Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Selor, yang berada di wilayah hukum Kejari Bulungan, sebelumnya juga menangani perkara korporasi PT PMJ.
“Pelaksanaan di Kejari Bulungan dilakukan karena asas kesetaraannya dengan PN Tanjung Selor. Nantinya, jika ada upaya hukum banding, barulah Kejati Kaltara berperan di tingkat Pengadilan Tinggi,” terangnya.
Kasus ini berawal dari laporan PT Mitra Bara Jaya (MBJ) pada 2023 ke Mabes Polri terkait dugaan penyerobotan lahan tambang berizin di Sesayap Hilir oleh PT PMJ. Dari hasil penyelidikan, terungkap PMJ—perusahaan yang berdiri sejak 1985 dan didirikan oleh pasangan mendiang Kristianto Kandi Saputro serta Juliet—melakukan kegiatan pertambangan di luar wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sah.
Dugaan makin menguat setelah Kristianto meninggal dunia pada 2023 dan seluruh kendali perusahaan diambil alih oleh Juliet, yang kemudian memerintahkan kelanjutan operasi tanpa izin tersebut.
Temuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mempertegas dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tambang ilegal itu. Laporan KLHK menyebut adanya kerusakan ekosistem di kawasan hutan sekitar lokasi tambang, pencemaran sungai akibat limbah batu bara, serta potensi longsor likuefaksi yang mengancam pemukiman warga di hilir sungai.
“Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan cukup besar. Dampaknya bukan hanya material, tapi juga mengganggu keseimbangan ekosistem dan membahayakan masyarakat sekitar,” ungkap Andi.
Juliet sempat kabur ke luar negeri pada pertengahan 2024, sesaat setelah statusnya ditetapkan sebagai tersangka dan namanya masuk dalam daftar buronan Red Notice Interpol.
Setelah menjalani pelarian hampir setahun, Juliet akhirnya berhasil ditangkap di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 25 Juli 2025. Penangkapan itu menjadi titik balik penanganan perkara yang telah lama ditunggu oleh banyak pihak, termasuk aktivis lingkungan dan warga terdampak di Tana Tidung.
Pasca pelimpahan tahap dua, jaksa penuntut umum akan mulai menyusun surat dakwaan dan menilai secara rinci peran Juliet dalam setiap tahapan kegiatan tambang ilegal. Menurut Andi, tim JPU gabungan dari Kejaksaan Agung, Kejati Kaltara, dan Kejari Bulungan akan dilibatkan untuk memperkuat proses pembuktian.
“Jaksa akan menyusun dakwaan dengan menilai sejauh mana peran Juliet dalam pengambilan keputusan di perusahaan. Tim Kejaksaan Agung juga siap turun langsung bila diperlukan, terutama untuk memeriksa saksi-saksi kunci atau mengkonfirmasi bukti tambahan,” jelasnya.
Ia menambahkan, sesuai dengan ketentuan hukum, JPU memiliki waktu maksimal 20 hari untuk melimpahkan perkara ke pengadilan. Jika dalam jangka waktu itu belum rampung, kejaksaan wajib mengajukan permohonan perpanjangan penahanan ke pengadilan.
“Semua proses kami lakukan secara hati-hati dan transparan. Kami juga memastikan setiap aspek hukum terpenuhi, termasuk hak-hak tersangka,” tegas Andi.
Dakwaan yang akan disusun mengacu pada pelanggaran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, tidak menutup kemungkinan jaksa juga menjerat dengan pasal pidana korporasi apabila terbukti ada instruksi langsung dari Juliet dalam menjalankan operasi tambang tanpa izin.
Kasus Juliet Kristianto Liu menjadi salah satu perkara tambang ilegal terbesar di Kalimantan Utara dalam satu dekade terakhir. Sebelumnya, pada 28 Juli 2025, Pengadilan Negeri Tanjung Selor telah memvonis PT Pipit Mutiara Jaya bersalah atas perkara serupa dengan hukuman denda sebesar Rp 85 miliar serta kewajiban melakukan reklamasi dan pemulihan lingkungan di wilayah terdampak. (*/saf)