KEHENINGAN pagi di Tenggarong belum sepenuhnya pecah ketika Ida Bagus Nyoman Giri menerima kabar yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sebagai Pengurus Pure Prayoga Agung Kutai, hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk mengurus pura, mempersiapkan upacara, serta memastikan umat dapat beribadah dengan tenang.
Ia terbiasa bekerja dalam senyap—tanpa banyak sorotan, tanpa menuntut imbalan. Karena itu, kabar bahwa dirinya terpilih mengikuti perjalanan rohani ke India sempat membuatnya tertegun.
Program itu bukan program biasa. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menginisiasi pemberangkatan penjaga rumah ibadah, marbot lintas agama melalui Program Gratispol—langkah yang jarang terdengar, namun sarat pesan mengenai penghargaan terhadap keberagaman.
“Program ini membawa kebahagiaan besar bagi kami. Tidak hanya untuk saya, tapi untuk seluruh umat Hindu di Tenggarong,” kata Giri, mengenang pagi yang mengubah rutinitasnya itu.
Perjalanan dimulai pada 13 September, hari yang ia sebut sebagai “awal dari pengalaman yang sulit ia samakan dengan apa pun”. Giri bersama rombongan kecil umat Hindu lain berangkat menuju Jakarta, menembus riuh bandara, sebelum melanjutkan ke Kuala Lumpur dan akhirnya mendarat di New Delhi.
Seluruh biaya perjalanan ditanggung pemerintah, kecuali ongkos dari rumah menuju bandara.
“Kami benar-benar merasa dihargai. Semua fasilitas, pendampingan, dan kebutuhan selama perjalanan disiapkan. Itu membuat kami merasa aman dan diperhatikan,” ujarnya.
Rombongan peserta Hindu berjumlah sekitar 18 orang, datang dari berbagai daerah: Tenggarong, Samarinda, Balikpapan, Paser hingga Bontang.
Mereka berangkat sebagai individu, namun tiba di India dengan tujuan yang sama—mencari jejak spiritual, menyentuh akar tradisi, dan merasakan langsung napas peradaban Hindu di tanah kelahirannya.
Setiap langkah di India menjadi pengalaman yang membuka pandangan baru. Mereka mengunjungi kompleks kuil kuno, berjalan di antara pilar-pilar batu yang menjadi saksi sejarah panjang keyakinan mereka, hingga menyentuh situs-situs suci yang selama ini hanya mereka kenal lewat cerita para tetua atau gambar dalam buku.
“Kami tidak hanya berjalan-jalan. Setiap tempat yang kami datangi seperti menghidupkan kembali sejarah yang selama ini hanya kami bayangkan. Rasanya seperti pulang ke akar keyakinan sendiri,” tuturnya.
Pendamping perjalanan dari Balikpapan memastikan seluruh rombongan merasa nyaman. Di Jakarta, tiga orang tambahan bergabung untuk mengoordinasikan keberangkatan. Setibanya di New Delhi, dua pendamping lokal sudah menunggu dan langsung mengarahkan rombongan.
“Kami tidak pernah benar-benar merasa sendirian. Semua berjalan lancar,” katanya.
Namun bagi Giri, makna perjalanan ini melampaui daftar tempat yang dikunjungi. Ia melihat bagaimana identitas keagamaan, yang sering kali dipandang berbeda, justru dirayakan melalui penghargaan yang nyata.
Baginya, langkah pemerintah memberangkatkan marbot lintas agama ke luar negeri merupakan pengakuan bahwa keberagaman di Kalimantan Timur bukan sekadar slogan atau formalitas.
“Kami sangat bersyukur. Tidak semua orang mendapat kesempatan seperti ini,” ucapnya.
“Harapan kami, program ini terus berlanjut. Semoga semakin banyak saudara-saudara kami yang bisa merasakan pengalaman yang sama di tahun-tahun berikutnya,” imbuhnya, menyampaikan harapan.
Ia sempat menyampaikan harapan sederhana: agar peserta dari tiap pengurus dapat ditambah. “Kalau bisa bukan satu orang saja. Dua atau tiga sangat berarti. Supaya pengalaman ini tidak berhenti di kami saja,” katanya.
Ketika pesawat mulai menurunkan ketinggian menuju Balikpapan di perjalanan pulang, Giri memandangi lampu kota yang perlahan muncul. Di momen itu ia menyadari, kepulangannya membawa sesuatu yang lebih besar daripada suvenir atau foto-foto perjalanan.
Ia membawa pembuktian bahwa jembatan toleransi di Kalimantan Timur sedang dibangun dari ruang-ruang kecil, dari langkah-langkah sunyi para marbot, dan dari program yang memberi ruang bagi setiap pemeluk agama untuk merasakan kehormatan yang sama.
Dan bagi Giri sendiri, perjalanan ke India itu bukan hanya tentang jejak masa lalu, melainkan tentang harapan masa depan—masa depan di mana keberagaman tumbuh sebagai kekuatan yang saling menguatkan.
Adv/Pemprov Kaltim










