SETIAP awal bulan, Farida Hariyana selalu menghitung ulang pengeluaran rumah tangganya. Tidak banyak yang bisa diubah, penghasilannya sebagai guru honorer MTs Miftahul Ulum di Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara sudah 17 tahun tidak pernah benar-benar cukup untuk mengimbangi kebutuhan sehari-hari.
Namun profesi itu tetap ia jalani tanpa ragu sejak pertama kali menerima panggilan mengajar begitu lulus SMA.
Di ruang kelas sederhana tempat ia mengajar, suara murid-murid menjadi pengingat mengapa ia bertahan sejauh ini. “Saya guru aja, nggak ada lain,” katanya, menggambarkan keterikatan yang tidak lagi sekadar pekerjaan, tetapi pengabdian.
Dari profesi itu pula ia membesarkan dua anaknya, yang sulung kini duduk di kelas 9 MTs, sementara anak bungsunya baru berusia dua tahun dan masih membutuhkan biaya susu serta popok setiap hari.
Farida masih mengingat masa ketika pemerintah provinsi pernah memberi insentif untuk guru honorer.
“Dulu itu pernah ada nerima insentif Rp300 ribu, masih jamannya Gubernur Awang Faroek. Nah itu sempat kami nerima, habis itu kan terputus tuh sudah lama,” tuturnya.
Sejak insentif itu berhenti, para guru honorer kembali hidup mengandalkan penghasilan yang pas-pasan, sembari berharap suatu saat ada perhatian lagi dari pemerintah provinsi.
Harapan itu muncul lagi tahun ini, ketika kabar mengenai Program JosPol—program unggulan Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud dan Wakil Gubernur Seno Aji—mulai beredar di kalangan guru honorer. Informasinya tidak datang dari pemerintah langsung, melainkan dari percakapan sesama guru.
“Pertama kali tahu dari teman-teman. Saya itu kan update berita saja, terus teman-teman ngomong, ‘ini nih ada insentif JosPol katanya, untuk guru’,” kata Farida menceritakan kisahnya.
Namun antusiasme itu tidak serta-merta disambut percaya. Banyak yang menganggapnya bagian dari rumor politik semata, termasuk Farida sendiri .
“Sempat dikira ini isu-isu aja, cuma janji politik. Kan biasa kalau janji politik. Awalnya gitu ya. Makanya kami bilang, ya udahlah lihat aja nanti,” bebernya.
Meski begitu, ia tetap mengisi data pendataan guru, berjaga-jaga kalau program tersebut benar-benar terealisasi.
Seminggu berlalu, lalu dua. Hingga akhirnya, pada Oktober lalu, kabar yang ditunggu-tunggu datang: insentif JosPol benar-benar cair. Tidak hanya bagi satu dua orang, tetapi untuk semua guru honorer yang masuk daftar.
“Ternyata memang ada sih, alhamdulillah. Begitu uang itu masuk senang sih, ada tambahan,” ucap Farida dengan mata yang berbinar saat mengenang momen itu.
Pencairan tahap kedua bahkan menjadi kejutan yang lebih besar. Insentif JosPol cair lebih cepat dibanding insentif dari kabupaten—yang biasanya diterima setiap bulan, tetapi tahun ini terlambat hingga tiga bulan.
“Kalau yang kedua terimanya awal November. Padahal lagi nunggu dari kabupaten, tapi kedeluan sama JosPol-nya cair, jadi alhamdulillah sekali,” katanya.
Perbedaan jarak antar kecamatan di Kutai Kartanegara membuat besaran insentif kabupaten bervariasi. Untuk Kecamatan Anggana, guru honorer menerima sekitar Rp1.050.000, dipotong pajak hingga menjadi sekitar Rp1.023.000. Keterlambatan itu membuat tambahan Rp500 ribu dari JosPol terasa jauh lebih berarti dari nominalnya.
Farida merasakan betul manfaatnya. “Jadi kemarin itu pas cair JosPol-nya alhamdulillah… langsung saya tarik besoknya untuk beli pampers, beli susu.” Kebutuhan sederhana namun mendesak—yang sering kali membuat penghasilan honorer terasa sesak—kini sedikit lebih longgar.
Kabar pencairan itu menjadi suasana berbeda di sekolah. Hampir seluruh guru honorer merayakan momen itu bersama.
“Pas tahu cair, ya alhamdulillah banget. Pas lagi barengan sama teman-teman sore itu, jadi saling kasih kabar, ‘eh cair nih, cair nih’. Senang semua guru honor.” Suasana sederhana penuh syukur di ruang guru menjadi bukti betapa insentif itu tidak sekadar bantuan finansial, melainkan pengakuan atas kerja sunyi para pendidik.
Meski demikian, Farida tidak menutup mata kesejahteraan guru honorer masih jauh dari ideal. Harapannya sederhana namun sangat berarti.
“Mudah-mudahan programnya berlanjut, karena ini sangat membantu kami yang honor-honor. Kalau bisa naik ya alhamdulillah lagi,” ujarnya.
Farida pun menyampaikan rasa terima kasihnya. “Saya terima kasih Pak Gubernur dan Wakil, karena kami sebagai guru honor ini diperhatikan. Setelah bertahun-tahun akhirnya ada lagi program seperti ini. Kami terima kasih sekali,” ucapnya.
Di tengah penghasilan yang terbatas, padatnya tugas mengajar, dan kebutuhan keluarga yang terus berjalan, Farida memilih tetap bertahan dalam profesinya. Insentif ini bagi Farida bukan hanya angka—melainkan napas lega yang membuat perjuangan panjangnya terasa dihargai.
Adv/Kominfo Kaltim










