NUNUKAN, Headlinews.id — Pemekaran wilayah di Krayan membawa konsekuensi hukum yang besar. DPRD Kabupaten Nunukan menilai perlu ada penegasan ulang hak-hak masyarakat adat melalui pembahasan tiga rancangan peraturan daerah (ranperda) inisiatif yang saat ini tengah dibahas bersama pemerintah daerah.
Dalam rapat paripurna, Rabu (5/11/2025), Dewan menyampaikan jawaban atas tanggapan pemerintah terhadap tiga ranperda tersebut. Penyampaian dilakukan oleh Juru Bicara Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Nunukan, Dr. Andi Muliyono, SH, MH.
Tiga ranperda inisiatif itu meliputi Perubahan atas Perda Nomor 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh, Perubahan Kedua atas Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat, serta Ranperda tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin.
Menurut Andi Muliyono, revisi terhadap Perda Nomor 4 Tahun 2004 menjadi penting karena wilayah Kecamatan Krayan kini telah dimekarkan menjadi lima kecamatan.
Kondisi ini menimbulkan kebutuhan untuk memperbarui dasar hukum terkait hak ulayat masyarakat hukum adat Lundayeh yang wilayahnya terbagi lintas kecamatan.
“Penyesuaian perda diperlukan agar pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat tidak tumpang tindih dengan batas administratif pemerintahan. Revisi ini memberi kepastian hukum sekaligus perlindungan atas hak-hak tradisional masyarakat Lundayeh,” ujarnya.
Perubahan perda lama juga difokuskan pada pembaruan pasal-pasal yang berkaitan dengan batas wilayah dan mekanisme pengakuan hak adat. DPRD menilai, pemetaan partisipatif wilayah adat perlu diperkuat agar batas-batas yang diakui secara legal dapat mencegah potensi konflik.
“Pemerintah daerah perlu memastikan masyarakat adat terlibat dalam penyusunan dan pengendalian tata ruang. Prinsip ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,” jelas Andi.
Terkait Ranperda Perubahan atas Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat, DPRD menilai perluasan materi hukum diarahkan untuk memperkuat aspek pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.
Regulasi baru ini juga menyesuaikan dengan ketentuan Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 yang mengatur mekanisme identifikasi, verifikasi, validasi, dan penetapan masyarakat adat oleh kepala daerah berdasarkan rekomendasi panitia masyarakat hukum adat.
“Proses identifikasi dan penetapan masyarakat adat perlu memiliki dasar hukum yang kuat. Dengan demikian, pengakuan tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga melindungi keberlangsungan nilai dan kearifan lokal,” tutur Andi.
Sementara untuk Ranperda tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin, DPRD mendukung pandangan pemerintah bahwa daerah dapat mengalokasikan anggaran bantuan hukum melalui APBD.
Kebijakan ini dinilai sebagai wujud tanggung jawab negara dalam memberikan akses keadilan bagi warga kurang mampu, baik di dalam maupun di luar proses peradilan.
“Regulasi ini akan menjadi instrumen nyata kehadiran pemerintah dalam menjamin keadilan bagi masyarakat miskin. Harapannya, tidak ada lagi warga yang kehilangan hak hukumnya hanya karena keterbatasan biaya,” tegas Andi.
Ia menegaskan, pembahasan ketiga ranperda inisiatif ini diharapkan menghasilkan produk hukum yang berpihak pada masyarakat adat dan kelompok rentan, serta memperkuat sendi keadilan sosial di Kabupaten Nunukan.
“Melalui rancangan ini, DPRD berupaya menghadirkan aturan daerah yang benar-benar melindungi hak masyarakat, memperkuat kepastian hukum, dan menjaga keharmonisan antarwarga di wilayah perbatasan,” pungkasnya. (*/rn)









