NUNUKAN, Headlinews.id – Kegelisahan petani sawit di wilayah perbatasan terkait kebijakan pupuk bersubsidi yang tidak lagi menyentuh kebutuhan para petani, disuarakan Anggota DPRD Kabupaten Nunukan, Andi Yakub.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022, yang membatasi subsidi pupuk hanya untuk sembilan komoditas, seperti padi, jagung, kedelai, dan cabai.
“Sementara kelapa sawit, komoditas utama bagi ribuan petani di Sebatik, Lumbis, dan Semenggaris, tidak lagi termasuk dalam daftar penerima subsidi. Sehingga, petani sawit di perbatasan telah lama bergantung pada pupuk dari Malaysia karena faktor harga dan ketersediaan,” kata Andi Yakub, Minggu (6/7/2025).
Ia menambahkan, akses terhadap pupuk nonsubsidi dalam negeri sangat terbatas dan harganya jauh lebih mahal. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, terjadi penyitaan pupuk asal Malaysia yang dibawa petani untuk digunakan secara pribadi di kebun.
Hal ini menunjukkan petani sawit di perbatasan tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan pupuk Malaysia.
Andi Yakub menilai bahwa penegakan regulasi yang bersifat formalistik tanpa memperhatikan kondisi lokal hanya akan memukul produktivitas petani kecil.
“Kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa pupuk legal dalam negeri belum bisa menjangkau semua wilayah secara merata,” ungkapnya.
Ia meminta agar pendekatan hukum lebih sensitif terhadap realitas sosial dan tidak mematikan ekonomi rakyat. Pemerintah harus memahami bahwa petani sawit di perbatasan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan petani di daerah lain.
Berdasarkan data yang dihimpun, Andi Yakub menunjukkan bahwa harga pupuk nonsubsidi lokal berkisar antara Rp500.000 hingga Rp700.000 per karung, sementara pupuk Malaysia hanya sekitar Rp350.000 hingga Rp450.000 per karung. Selisih ini sangat menentukan bagi petani sawit kecil.
“Ini bukan soal melawan hukum, tapi soal bertahan hidup. Petani sawit kecil tidak dapat menanggung biaya yang tinggi untuk membeli pupuk nonsubsidi lokal,” tandasnya.
Andi Yakub juga mencontohkan petani sawit mandiri dengan produksi satu ton TBS per hektare per bulan hanya memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp2.350.000. Jika dihitung untuk empat bulan, biaya operasional bisa menelan lebih dari separuh pendapatan.
“Tapi, kalau menggunakan pupuk Malaysia, biaya dapat ditekan sehingga keuntungan bersih lebih tinggi. Selisih biaya Rp1 juta hingga Rp2 juta per periode itu krusial bagi petani,” jelasnya.
Andi Yakub mendorong lahirnya forum kolaboratif lintas sektor untuk menciptakan solusi jangka panjang bagi petani sawit di perbatasan. Menurutnya, sudah waktunya pemerintah pusat harus melihat persoalan pupuk ini sebagai indikasi, pendekatan distribusi nasional tidak bisa disamaratakan.
“Wilayah perbatasan punya tantangan yang berbeda. Seharusnya, kebijakan yang dibuat lebih membumi dan tidak justru menjadi beban baru bagi rakyat. Pemerintah harus memahami kebutuhan petani sawit di perbatasan dan menciptakan solusi yang tepat untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan mereka,” pungkasnya. (*)