YOGYAKARTA, Headlinews.id– Kekerasan seksual di perguruan tinggi kembali menjadi sorotan serius melalui Townhall Muda Yogyakarta, yang diselenggarakan oleh Forum Inklusi Sosial bersama 9 finalis muda dari 30 Townhall Muda.id, 23 Agustus lalu.
Kegiatan ini digelar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta sebagai respons terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual dalam lima tahun terakhir.
Fenomena ini menjadi perhatian karena meski pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di perguruan tinggi sejak 2021, implementasi pencegahan masih dinilai belum optimal.
Data terbaru menunjukkan tren peningkatan kasus kekerasan seksual yang memerlukan perhatian seluruh pihak terkait.
Rangkaian kegiatan Townhall Muda Yogyakarta dirancang untuk mengangkat isu kekerasan seksual secara komprehensif. Kegiatan dimulai dengan audiensi bersama Kepala Dinas P3AP2 DIY untuk membahas program pemerintah dan potensi kolaborasi dengan perguruan tinggi serta komunitas.
Pameran praktik baik dan pembukaan booth komunitas menampilkan inovasi lokal dalam pencegahan kekerasan seksual dan edukasi mahasiswa.
Pemutaran film dokumenter menjadi salah satu agenda penting, menyoroti hasil survei internal mengenai kekerasan seksual di lingkungan civitas akademika Yogyakarta, perspektif aktivis, serta pengalaman nyata korban.
Program Manajer Townhall Muda, Aulia Pradipta Prabandaru, membuka kegiatan dan menjelaskan tujuan acara ini.
“Kami ingin kampus menjadi ruang bagi mahasiswa untuk menumbuhkan mimpi dan cita-cita, bukan sekadar gedung yang membungkam suara mereka. Setiap langkah dan aksi nyata dari seluruh pihak menjadi bagian dari perubahan yang kami harapkan,” tegasnya.
Penyelenggara berharap melalui Townhall Muda Yogyakarta, kampus dapat benar-benar menjadi ruang bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri, menumbuhkan mimpi, dan mewujudkan cita-cita mereka.
“Mimpi tidak akan terwujud hanya dengan dibayangkan; setiap orang harus mengambil peran dan menghadirkan aksi nyata agar perguruan tinggi menjadi ruang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan seksual,” imbuhnya.
Seminar nasional dan diskusi panel lintas sektor menjadi inti kegiatan. Dari pemerintah pusat hadir Rachmeilia Daniastri, Auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Sebelum memberikan pernyataannya, Rachmeilia menekankan pentingnya peran mahasiswa dalam menyampaikan masukan terkait pencegahan kekerasan seksual.
“Kami membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk menyampaikan saran terkait hal-hal yang perlu dibenahi dan dikoreksi. Saat ini layanan pengaduan sudah tersedia, dan kami siap mendukung dengan sarana lain apabila diperlukan. Suara mahasiswa sangat penting bagi perbaikan kebijakan di perguruan tinggi,” tandasnya.
Dari pemerintah daerah, hadir Erlina Hidayati Sumardi, Kepala Dinas P3AP2 DIY. Ia menjelaskan strategi pemerintah daerah dalam memastikan perguruan tinggi menjadi ruang aman bagi mahasiswa.
“Pemerintah daerah terus mendorong kolaborasi dengan kampus, komunitas, dan organisasi mahasiswa agar mekanisme pencegahan kekerasan seksual dapat berjalan efektif. Kampus harus menjadi tempat belajar yang aman, bebas dari kekerasan, dan mendukung perkembangan mahasiswa secara utuh,” ujarnya.
Sementara itu, dari kalangan akademisi, Suharti Mukhlas, Gender Specialist sekaligus Executive Secretary UNU Yogyakarta, memaparkan kondisi penerapan kebijakan di kampus dan tantangan yang dihadapi. Ia menekankan perlunya edukasi berkelanjutan agar regulasi yang ada dapat benar-benar terlaksana.
“Aturan sekarang sudah banyak mengalami kemajuan, namun implementasinya masih kurang optimal. Edukasi berkelanjutan sangat dibutuhkan agar kebijakan tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi benar-benar dapat dirasakan oleh seluruh civitas akademika,” jelas Suharti.
Aktivis Halimah Ginting, Sekretaris Wilayah DIY Koalisi Perempuan Indonesia, hadir untuk menyampaikan perspektif masyarakat sipil. Sebelum memberikan pernyataan, ia menekankan komunitas memiliki peran strategis dalam mendukung mahasiswa dan korban kekerasan seksual untuk memperoleh akses ke bantuan dan advokasi.
“Kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat di mana hak dan keamanan mahasiswa harus dijaga. Setiap cerita dan pengalaman yang disuarakan mahasiswa menjadi bahan evaluasi bagi seluruh pihak terkait, ” tambahnya.
Kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan teman disabilitas, juru bahasa isyarat, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) universitas, media, komunitas masyarakat, UMKM lokal, mahasiswa umum, dan Satgas PPKS dari berbagai perguruan tinggi.
Kehadiran beragam pihak ini diharapkan menghadirkan perspektif luas sekaligus mendorong kolaborasi lintas sektor dalam menciptakan perguruan tinggi yang aman, inklusif, dan bebas kekerasan seksual.
Diskusi dan penandatanganan komitmen bersama dalam FGD multistakeholder menjadi langkah konkret untuk merumuskan rencana tindak lanjut.
Penampilan pembacaan puisi dan tarian tradisional menambah nuansa reflektif pada kegiatan, menegaskan kampus juga merupakan ruang ekspresi budaya yang aman bagi seluruh civitas akademika. (*)