TANJUNG SELOR, Headlinews.id – Polemik terkait nilai anggaran perjalanan dinas (Perdin) Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) terus bergulir. Setelah Ketua DPRD Kaltara, Achmad Djufrie, memberikan pernyataan, pihak Pemerintah Provinsi melalui Biro Hukum menegaskan informasi yang beredar di sejumlah media daring dan media sosial adalah hoaks dan tidak sesuai dengan data resmi.
Isu tersebut bermula dari pemberitaan beberapa media yang menarasikan seolah-olah Ketua DPRD Kaltara mengakui bahwa terdapat anggaran perjalanan dinas di lingkup Pemerintah Provinsi Kaltara mencapai Rp185 miliar. Narasi tersebut kemudian menyebar luas di media sosial dan memicu berbagai tanggapan publik yang mempertanyakan proporsionalitas alokasi anggaran.
Namun Ketua DPRD Kaltara, Achmad Djufrie, meluruskan pernyataannya telah disalahartikan dan diambil di luar konteks. Ia menegaskan tidak pernah menyebut angka Rp185 miliar, apalagi mengonfirmasi besaran pasti anggaran perjalanan dinas di lingkungan pemerintah provinsi.
“Saya hanya menyampaikan bahwa setiap perangkat daerah memang memiliki anggaran perjalanan dinas sesuai dengan tugas dan fungsinya. Tapi saya sama sekali tidak pernah menyebut angka Rp185 miliar seperti yang diberitakan,” ujar Djufrie, Jumat (10/10/2025).
Ia menjelaskan, DPRD tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan atau mengetahui secara detail jumlah anggaran perjalanan dinas masing-masing OPD. Tugas lembaganya terbatas pada fungsi pembahasan dan pengawasan.
“Kalau soal perjalanan dinas DPRD, tentu kami tahu karena itu wilayah kami. Tapi kalau urusan internal OPD, bukan ranah kami. Semua itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,” tegasnya.
Djufrie juga menekankan kebijakan efisiensi atau penyesuaian anggaran sepenuhnya menjadi kewenangan Gubernur.
“Kalau ada yang mau dikurangi atau disesuaikan, itu ranahnya Gubernur. DPRD tidak bisa masuk sejauh itu. Kami hanya memastikan kebijakan tersebut sesuai aturan dan tidak merugikan kepentingan masyarakat,” tambahnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Biro Hukum Setprov Kaltara, Hasnan Mustaqim, melalui Bagian Bantuan Hukum, Indrayadi Purnama Saputra, menyatakan pemberitaan yang menyebut adanya pengakuan nilai Perdin sebesar Rp185 miliar adalah tidak benar. Ia menegaskan, data yang beredar hanyalah usulan dalam rancangan peraturan (Raperda dan Rapergub) yang masih berpotensi berubah sebelum ditetapkan.
“Sudah sangat jelas dijelaskan oleh Ketua Komisi Informasi (KI) Kaltara, kalau informasi itu hoaks. Data yang diberitakan itu merupakan usulan Raperda dan Rapergub, artinya masih bisa bergeser atau berubah. Apalagi, data itu belum melalui proses efisiensi dan belum ditandatangani oleh pihak berwenang,” jelas Indrayadi.
Indrayadi menambahkan, tudingan yang dilayangkan dalam pemberitaan tersebut tidak hanya terkait perjalanan dinas, tetapi juga sejumlah item anggaran lain. Ia menilai, publikasi yang dilakukan media terkait tidak mencerminkan etika jurnalistik yang seharusnya menyertakan regulasi dan dasar hukum ketika mengkritik kebijakan publik.
“Yang dipersoalkan bukan hanya soal angka Perdin, tapi juga item lain yang dituduhkan kepada pemerintah. Kritik boleh saja, tapi jangan menggiring opini. Apalagi membandingkan hal yang tidak sebanding seperti insentif guru dan perjalanan dinas. Itu tidak apple to apple, karena insentif guru sudah jelas diatur oleh regulasi,” tegasnya.
Menurut Indrayadi, pemberitaan tersebut lebih menyerupai upaya menggiring opini publik dengan cara spekulatif untuk membenarkan tuduhan terhadap pemerintah. Ia menilai, framing yang dibangun justru menyesatkan karena mengabaikan mekanisme evaluasi anggaran yang dilakukan oleh kementerian terkait.
“Semua data anggaran itu dievaluasi dulu di kementerian. Pemerintah tidak asal menganggarkan. Jadi jangan dipelintir untuk tujuan menggiring opini negatif. Kalau pemberitaan itu murni kritik, seharusnya menyertakan dasar regulasi yang kuat,” tambahnya.
Ia juga menyinggung adanya upaya pihak media untuk melakukan komunikasi dan meminta klarifikasi kepada Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) serta Biro Hukum setelah berita tersebut ramai. Namun, menurutnya, langkah itu sudah terlambat.
“Kalau mereka yakin beritanya sahih, tidak perlu panik. Tidak perlu seolah-olah mau tabayyun setelah menyerang pemerintah. Lebih baik kita ketemu di forum hukum yang sah, yaitu di kepolisian dan pengadilan nanti. Kita buktikan di sana,” ucapnya.
Indrayadi juga menilai, motif di balik pemberitaan tersebut tidak murni dalam konteks kritik kebijakan publik, melainkan lebih mengarah pada upaya mencari kesalahan pemerintah.
“Kami melihat ada unsur kesengajaan untuk mencari kesalahan, bukan sekadar mengkritik. Kalau seseorang tidak mendapatkan data yang diinginkan, bukan berarti boleh membuat atau menyebarkan data sembarangan,” tegasnya.
Ia kemudian menyampaikan analogi hukum untuk memperjelas posisi pemerintah dalam menghadapi pemberitaan tersebut.
“Kalau seseorang mengetuk pintu tapi gelagatnya mencurigakan, wajar kalau pemilik rumah enggan membuka. Tapi apakah karena tidak dibukakan pintu, lalu boleh seenaknya masuk, memakai pakaian orang, atau masak di dapur orang? Tentu tidak. Begitu juga dengan informasi publik, ada tata caranya,” ujarnya menegaskan.
Dukungan terhadap klarifikasi ini juga datang dari Ketua Komisi Informasi (KI) Kaltara, Fajar Mentari. Ia menyebut, media yang memuat pemberitaan terkait anggaran Perdin telah salah menafsirkan pernyataan Ketua DPRD Kaltara.
“Saya pastikan media itu salah menangkap maksud Ketua DPRD. Data yang disebarkan itu hoaks,” kata Fajar.
Fajar kemudian memberikan analogi untuk mengedukasi publik soal pentingnya memahami konteks informasi.
“Kalau seseorang tidak dilayani saat mengurus SIM, bukan berarti dia boleh membuat SIM palsu. Ada mekanismenya, ada lembaga yang menyelidiki. Jadi jangan seenaknya membuat data sendiri karena merasa tidak dilayani,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan agar media lebih bijak dalam membangun narasi dan tidak serta-merta menganggap pihak lain salah hanya karena memiliki sudut pandang berbeda.
“Kalau kita benar, bukan berarti orang lain pasti salah. Begitu juga sebaliknya. Kritik boleh, tapi harus objektif dan proporsional. Jangan karena ingin membenarkan diri lalu melanggar ketentuan,” tutur Fajar.
Fajar berharap, ke depan media dan publik dapat lebih berhati-hati dalam mengonsumsi serta menyebarkan informasi, terutama yang berkaitan dengan kebijakan publik.
“Kalau anggaplah BKAD salah, bukan berarti media boleh menyebarkan informasi hoaks. Sama halnya kalau seorang pria ditolak cintanya oleh wanita, bukan berarti boleh pakai dukun. Harus objektif dalam mengambil sikap,” pungkasnya. (*/saf)