TARAKAN, Headlinews.id – Sebanyak 17 anggota DPRD Kota Tarakan memutuskan untuk tidak mengambil Bantuan Subsidi Upah (BSU) meski namanya tercantum sebagai penerima program tersebut.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) gabungan Komisi DPRD dengan BPJS Ketenagakerjaan, PT Pos, serta Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja, yang digelar di Kantor DPRD Kota Tarakan, Jumat (15/8/2025).
Menurut Harjo Solaika, Sekretaris Komisi III DPRD Tarakan, penolakan anggota dewan bukan karena adanya larangan hukum, melainkan alasan etika publik.
“Secara aturan memang tidak ada yang melarang, namun sebagai pejabat publik, kami harus memikirkan pantas atau tidaknya menerima bantuan negara. Kami semua sepakat bahwa masyarakat yang membutuhkan harus menjadi prioritas,” ujarnya.
Kasus ini muncul karena adanya permasalahan dalam sistem pendataan BSU. Nama anggota DPRD secara otomatis tercatat sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, sehingga saat program BSU dijalankan, data mereka masuk kriteria penerima.
Hal ini terjadi karena gaji pokok anggota DPRD Kota Tarakan, sekitar Rp4 juta, masih berada di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Tarakan yang saat ini mencapai Rp4,4 juta.
“Data kami masuk secara otomatis, sehingga ketika diverifikasi, ternyata memenuhi syarat. Ini murni kesalahan sistem, bukan kesengajaan,” jelas Harjo.
Rapat tersebut kemudian menghasilkan beberapa keputusan penting. Pertama, DPRD akan menyampaikan evaluasi terkait sistem pendataan kepada pihak-pihak terkait agar kesalahan serupa tidak terulang.
Kedua, seluruh 30 anggota DPRD sepakat untuk menolak BSU. Keputusan ini menegaskan komitmen anggota DPRD dalam menjaga etika dan citra lembaga.
Harjo menambahkan, program BSU memang dirancang untuk membantu pekerja yang terdampak pandemi dan masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, kesalahan pendataan bisa menimbulkan persepsi negatif jika pejabat publik termasuk sebagai penerima.
“Kami berharap pemerintah pusat dan daerah bisa memperbaiki mekanisme pendataan agar bantuan tepat sasaran. Jangan sampai yang membutuhkan terlewat karena data tidak akurat,” tuturnya.
Selain itu, Harjo menekankan pentingnya kesadaran pejabat publik untuk menilai kelayakan menerima bantuan sosial.
“Ini juga menjadi contoh bagi pejabat lainnya, bahwa etika dan kepantasan harus menjadi pertimbangan utama. Bantuan negara harus sampai ke masyarakat yang benar-benar membutuhkan,” tandasnya. (*/rs)