NUNUKAN, Headlinews.id – Mekanisme seleksi dalam proses Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 menuai kritik tajam dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nunukan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar pada Kamis (3/7/2025) di ruang rapat Ambalat I Kantor DPRD Nunukan, Anggota Komisi I, Andre Pratama, menyampaikan keprihatinannya atas kebingungan masyarakat dalam memahami jalur-jalur seleksi yang diberlakukan.
Menurut Andre, sistem seleksi SPMB yang saat ini menggabungkan beberapa jalur, mulai dari nilai akademik, domisili, afirmasi, hingga prestasi, justru menimbulkan kebingungan di kalangan orang tua murid.
Alih-alih memberikan kesempatan yang merata, sistem ini dinilai tidak konsisten dan membebani masyarakat dalam mengambil keputusan.
“Orang tua murid mengaku bingung, hari ini dikatakan berdasarkan domisili, besok disaring lagi lewat nilai, lusa pakai afirmasi. Ini membuat masyarakat sulit menentukan jalur yang tepat bagi anak-anak mereka,” ungkap Andre di hadapan perwakilan Cabang Dinas Pendidikan Kalimantan Utara.
Lebih lanjut, Andre menilai bahwa sistem seleksi yang kompleks ini berpotensi merugikan masyarakat. Ia menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menerapkan mekanisme yang lebih sederhana dan transparan, cukup dengan satu jalur seleksi dalam satu tahap agar tidak menimbulkan multiinterpretasi.
“Kalau memang pakai domisili, ya jalankan itu saja. Kalau pakai nilai, jangan ditumpuk dengan domisili. Satu jalur saja biar jelas,” tegasnya.
Salah satu contoh nyata dari dampak sistem seleksi saat ini, menurut Andre, terjadi di wilayah Sebatik Barat. Di kawasan ini, terdapat tiga sekolah menengah pertama (SMP), namun belum memiliki satu pun sekolah menengah atas (SMA) negeri. Akibatnya, siswa dari Sebatik Barat kesulitan bersaing dalam jalur zonasi karena terbatasnya akses ke sekolah negeri terdekat.
“Anak-anak kita yang punya nilai bagus pun akhirnya kalah karena zonasinya tidak masuk. Orang tua kebingungan, bahkan ada yang sampai berniat memindahkan alamat hanya untuk mengakali zonasi,” kata Andre.
Ia juga mengkritisi sistem zonasi yang diterapkan tanpa dibarengi pemerataan sarana dan prasarana pendidikan. Menurutnya, selama belum ada pemerataan infrastruktur pendidikan, sistem zonasi hanya akan melahirkan ketimpangan dan diskriminasi terselubung.
“Ada sekolah dengan kelebihan guru di satu bidang, sementara sekolah lain kekurangan tenaga pengajar. Ketimpangan ini tidak bisa dibiarkan,” tegasnya.
Dalam forum yang sama, Andre juga menyampaikan inisiatif pribadinya yang patut diapresiasi. Ia mengaku telah membeli sebidang tanah di wilayah Sebatik Barat yang rencananya akan dihibahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara sebagai lokasi pembangunan SMA negeri.
“Saya sudah sampaikan ke Pak Gubernur. Ini solusi jangka panjang agar akses pendidikan bisa merata, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal),” ucapnya.
Di akhir RDP, DPRD Nunukan mendesak agar Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Utara segera melakukan evaluasi total terhadap sistem seleksi SPMB 2025.
Mereka menilai bahwa petunjuk teknis (juknis) yang tidak jelas serta tumpang tindihnya jalur seleksi hanya akan memperbesar kesenjangan pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil dan perbatasan.
“Kami tidak ingin setiap tahun masalah yang sama terus berulang. Ini bukan sekadar urusan teknis, tapi menyangkut masa depan generasi muda kita,” pungkas Andre. (*)