TANJUNG SELOR, Headlinews.id – Tragedi kecelakaan laut yang terjadi di perairan Nunukan kembali memicu sorotan terhadap lemahnya koordinasi dan kejelasan tanggung jawab antarinstansi, terkait keselamatan pelayaran di Kalimantan Utara. Satu orang dilaporkan meninggal dunia setelah dua unit speedboat bertabrakan pada Minggu (27/7/2025).
Menanggapi insiden tersebut, Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas III Kaltara menjelaskan aspek teknis keselamatan pelayaran tidak berada dalam ruang lingkup tugas mereka.
Hal ini ditegaskan oleh Staf BPTD, Nafictor, saat dimintai keterangan oleh awak media.
“Urusan teknis keselamatan kapal bukan tanggung jawab kami. Berdasarkan Instruksi Menteri Perhubungan Nomor 3 Tahun 2025, hal tersebut merupakan ranah Kesyahbandaran, seperti KSOP atau UPP,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa BPTD hanya menangani pelayaran yang melalui jalur sungai dan danau, serta pelabuhan reguler tertentu. Untuk Nunukan, pihaknya hanya berwenang di Pelabuhan Liem Hie Jung, yang melayani rute resmi ke Tarakan.
“SPB yang kami keluarkan hanya untuk kapal yang berangkat dari pelabuhan tersebut dan berlaku sampai 31 Desember 2025. Di luar itu, kami tidak memiliki akses,” jelas Nafictor.
Ia juga menegaskan bahwa speedboat yang mengalami kecelakaan tidak termasuk dalam daftar kapal yang telah mendapatkan SPB dari instansinya. Proses penerbitan SPB, menurutnya, membutuhkan kelengkapan dokumen serta rute resmi yang sudah diakui pemerintah.
“Hingga kini kami belum dilibatkan dalam penanganan kasus ini. Tapi kalau diminta, kami siap memberikan dukungan penuh,” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala KSOP Nunukan, Ahmad Kosasi, menuturkan bahwa pihaknya pun belum sepenuhnya menerima pelimpahan kewenangan dalam urusan pelayaran lokal. Hal ini membuat posisi mereka menjadi serba terbatas.
“Wewenang penuh baru akan dialihkan secara resmi pada akhir tahun, jadi kami belum bisa mengambil langkah formal saat ini,” ujarnya singkat.
Situasi tersebut menciptakan kekosongan koordinasi yang rawan memicu kebingungan, terutama saat terjadi insiden seperti di Nunukan.
Lemahnya pembagian tanggung jawab memperlihatkan perlunya pembenahan regulasi yang lebih tegas.
Tragedi tabrakan antara speedboat kecil bermesin 40 PK dan SB BORNEO Express 02 yang memiliki mesin ganda 200 PK tersebut seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah.
Seorang perempuan dilaporkan selamat dan kini tengah menjalani perawatan intensif. Selain menelan korban jiwa, kecelakaan ini juga memperlihatkan rapuhnya sistem pengawasan pelayaran di wilayah perbatasan. (rn)