BALIKPAPAN, Headlinews.id – Sidang perkara dugaan penggelapan dan pemalsuan dokumen yang melibatkan terdakwa Yusup Adi Putra, mantan karyawan PT Jotun Indonesia, kembali digelar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Rabu (12/11/2025).
Agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan saksi, yang menghadirkan sejumlah saksi kunci terkait dugaan tindak pidana yang merugikan perusahaan sekitar Rp951 juta.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Eka menghadirkan saksi antara lain Stela yang merupakan istri terdakwa, Jetli ipar terdakwa, serta Adi Gunarto Wijaya dari pihak perusahaan yang diketahui namanya dimanfaatkan dalam order fiktif.
Dalam persidangan, Stela mengakui terdakwa memintanya menandatangani Purchase Order (PO) yang mengatasnamakan beberapa perusahaan.
Barang-barang yang dipesan melalui PO itu kemudian diserahkan kepada pihak pembeli, namun Setela mengaku tidak mengetahui secara pasti siapa customer yang menerima barang-barang tersebut.
“Saya tidak tahu jumlah barang terkait PO yang dipesan, saya hanya menandatangani berkas. Saya tahu barang sudah dibayarkan, tapi tidak tahu barang dikirim ke siapa,” ujar Stela di persidangan.
Keterangan ini menguatkan dakwaan JPU bahwa terdakwa sengaja memanfaatkan posisi dan pengaruhnya untuk mengatur pengambilan barang seolah sah, padahal tidak sesuai prosedur resmi perusahaan.
Dalam persidangan, hakim juga sempat menanyai istri terdakwa secara langsung terkait aset dan tanggung jawabnya atas dugaan penggelapan. “Apa hasil yang kamu dapat dari uang Rp951 juta? Rumah, mobil, berlian, atau batu bara? Apa yang kamu punya?,” tanya Hakim.
Kemudian dijawab istri terdakwa, Stela, menjawab, “Saya hanya punya tanah,”
Hakim melanjutkan pertanyaan terkait keterlibatan saksi dalam pemalsuan yang dilakukan suaminya. “Apa tanggung jawabmu? Bisa ganti rugi atau mau menemani suami?,” tanya hakim lagi. Majelis Hakim juga sempat mempertanyakan aliran uang hasil kejahatan yang dilakukan terdakwa.
Selanjutnya, saksi Jetli menambahkan kronologi pengambilan barang. Ia mengaku hanya mengambil barang dari rumah terdakwa atau langsung dari gudang PT Jotun atas perintah Yusup.
Jetli diberikan surat terima barang dari gudang sebagai tanda bukti, dan daftar barang diambil berdasarkan instruksi terdakwa. Jetli mengambil barang untuk di antar kerumah Yusup, dalam sekali antar bisa sekitar 50 liter.
“Saya mengambil barang atas perintah Pak Yusup dan mengantarkannya ke rumah terdakwa. Beberapa barang berasal dari CV Pusaka Prima dan CV Mustika Dewi, dengan jumlah pengambilan beberapa kali, sekitar 50 liter,” ujarnya.
Di persidangan, JPU Eka turut menegaskan Jetli menerima upah, seperti uang bensin sekitar Rp9 juta atas jasa pengambilan barang tersebut.
Sementara untuk saksi Adi Gunarto Wijaya juga memberikan keterangan penting. Ia menegaskan perusahaan seperti Yellow Mart dan PT Fajar Abadi tidak pernah melakukan pemesanan barang Jotun, dan ia tidak pernah berhubungan dengan transaksi tersebut.
Hal ini memperkuat dugaan beberapa barang yang dikeluarkan terdakwa tidak sesuai pemesanan resmi dan merupakan bagian dari praktik penggelapan.
Dalam persidangan, JPU Eka menekankan Yusup Adi Putra diduga telah mengatur alur pengambilan barang dan dokumen seolah sah, namun kenyataannya barang-barang tersebut tidak sesuai dengan pemesanan resmi.
Dugaan penggelapan ini menimbulkan kerugian perusahaan sekitar Rp951 juta. JPU juga menyebut terdakwa memanfaatkan beberapa orang sebagai saksi atau perantara, termasuk istrinya dan Jetli, untuk memuluskan alur pengambilan dan pengiriman barang.
Saksi-saksi turut menjelaskan barang-barang tersebut berasal dari gudang PT Jotun dan diambil atas nama beberapa perusahaan, namun tidak semua barang diketahui dikirim kemana.
Stela menandatangani PO, Jetli mengambil dan mengantar barang serta mendapatkan upah, sementara terdakwa yang mengatur seluruh alur.
Persidangan ditutup dengan penetapan jadwal lanjutan. Sidang berikutnya, 19 November pekan depan diagendakan mendengarkan keterangan terdakwa Yusup. (*)










