TARAKAN, Headlinews.id – Biaya pemilihan gubernur yang kian tinggi mendorong wacana agar pemilihan dilakukan langsung oleh presiden. Ketua DPRD Kalimantan Utara (Kaltara), Achmad Djufrie, menilai langkah ini lebih efisien dan dapat meringankan beban calon, terutama dari sisi finansial dan logistik.
Wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah ini kembali mencuat di tingkat nasional. Salah satu skema yang ramai dibahas adalah agar gubernur dipilih presiden, sementara bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD. Menurut Achmad Djufrie, ide ini layak dipertimbangkan karena dapat menekan biaya pemilu yang selama ini sangat besar, sekaligus menjaga kualitas demokrasi di daerah.
“Sampai saat ini, aturan dan undang-undang terkait belum selesai. Informasi yang saya dapat baru sekitar 80 persen. Tetap, keputusan presiden pun harus ada landasan hukum yang jelas untuk pemilihan gubernur,” ujarnya saat ditemui, Kamis (9/10/2025).
Djufrie menilai, jika gubernur dipilih melalui mekanisme ini, penyelenggaraan pemilu akan jauh lebih efisien. Selain mengurangi beban negara, mekanisme ini juga meringankan kandidat, khususnya mereka yang tidak memiliki sumber daya finansial besar.
“Mudah-mudahan bisa begitu. Dalam kondisi kebutuhan efisiensi seperti sekarang, langkah ini tepat untuk menghemat biaya. Kajian akademis juga menunjukkan pelaksanaannya jauh lebih murah dibandingkan pemilu langsung,” kata Djufrie.
Ia menambahkan mekanisme ini justru berpotensi meningkatkan kualitas demokrasi daerah.
“Kalau hasil pertimbangannya lebih bagus, menurut saya lebih bagus di DPR. Saya sudah mengikuti beberapa kali pemilihan gubernur, biayanya luar biasa besar. Lokasinya juga berjauhan, sampai ke pelosok. Kasihan kandidat kalau tidak punya banyak uang, sulit ikut bertanding,” tuturnya.
Secara teknis, Djufrie meyakini sistem ini tidak akan menyulitkan proses pemilu. Pencalonan tetap akan melalui jalur partai politik yang sah, sehingga mekanisme administratif dan prosedur formal tetap terjaga.
“Kalau soal pelaksanaan, saya rasa tidak ribet. Semua tetap melalui partai politik yang menentukan siapa yang bisa diajukan sebagai calon gubernur,” tambahnya.
Meski wacana ini dipandang positif dari sisi efisiensi, Djufrie menekankan pentingnya sosialisasi luas kepada masyarakat sebelum penerapannya.
“Pasti perlu sosialisasi. Masih banyak waktu. Kalau tidak ada perubahan besar di pusat, prosesnya mungkin cepat. Tapi untuk sekarang, kita masih menunggu perkembangan lebih lanjut,” jelasnya.
Wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah muncul setelah beberapa kalangan di pemerintahan menilai pemilu langsung menelan biaya besar dan rawan menimbulkan konflik sosial. Beberapa pihak juga menyoroti praktik politik uang dan beban fiskal yang tinggi, baik bagi negara maupun calon.
Sejumlah pengamat politik menyebut usulan ini perlu dikaji secara mendalam, karena perubahan sistem dapat berdampak pada demokrasi daerah yang telah berjalan hampir dua dekade. Mereka menekankan agar aspek transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik tetap dijaga.
Achmad Djufrie berharap, apapun keputusan pemerintah pusat nantinya, asas efisiensi, transparansi, dan keadilan tetap menjadi prioritas.
Dengan adanya wacana ini, masyarakat dan calon kepala daerah diminta terus mengikuti perkembangan serta memberikan masukan agar sistem baru dapat berjalan adil dan efektif, tanpa menimbulkan ketimpangan atau beban tambahan bagi kandidat maupun pemerintah daerah.
“Yang terpenting bagi kita di daerah adalah sistem itu berjalan dengan baik, efisien, tapi tetap menjaga prinsip demokrasi yang sehat. Efisiensi bukan berarti mengorbankan partisipasi atau kualitas demokrasi,” pungkasnya. (rz)