BALIKPAPAN, Headlinews.id— Pemerintah Kota Balikpapan terus memperkuat strategi pencegahan stunting melalui berbagai pendekatan edukatif yang melibatkan keluarga dan komunitas.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) menjadi salah satu ujung tombak dalam upaya ini, khususnya melalui program-program berbasis pendampingan keluarga dan pemenuhan gizi anak sejak dini.
Kepala DP3AKB Kota Balikpapan, Heria, menegaskan bahwa pihaknya berfokus pada edukasi, sosialisasi, serta pemantauan langsung terhadap keluarga dengan anak-anak yang berada dalam masa tumbuh kembang krusial, yaitu periode 1.000 hari pertama kehidupan.
Hal itu disampaikannya saat ditemui dalam kegiatan lintas sektor yang berlangsung di Hotel Grand Senyiur Balikpapan.
“Kalau statusnya sudah masuk kategori stunting, itu penanganannya jadi kewenangan Dinas Kesehatan. Tapi sebelum itu terjadi, kami di DP3AKB bertugas untuk mencegah, melalui pendekatan ke keluarga,” ujar Heria, Kamis (24/7/2025).
Menurutnya, edukasi dan pendampingan menjadi kunci utama dalam menekan angka stunting secara berkelanjutan. DP3AKB fokus menyasar rumah tangga yang memiliki ibu hamil dan anak usia di bawah dua tahun (baduta), kelompok paling rentan terhadap risiko gizi buruk dan pertumbuhan yang tidak optimal.
“Selama ini kita gencarkan sosialisasi pentingnya peran keluarga dalam pemenuhan gizi. Apalagi di 1.000 hari pertama kehidupan, karena itu masa yang sangat menentukan tumbuh kembang seorang anak, baik secara fisik maupun kognitif,” tambahnya.
Salah satu program andalan yang masih konsisten dijalankan DP3AKB Balikpapan adalah “Satu Telur Satu Hari”. Program ini telah berjalan sejak beberapa tahun terakhir dan menyasar anak-anak usia dini, terutama mereka yang berada di wilayah dengan risiko stunting yang relatif tinggi.
Program tersebut dijalankan secara rutin setiap hari Jumat di sejumlah kantor kelurahan, dengan dukungan kader dan petugas lapangan.
“Setiap hari Jumat, anak-anak dibagikan satu butir telur sebagai tambahan asupan gizi. Ini bukan solusi tunggal, tapi bentuk intervensi sederhana yang bisa membantu memenuhi kebutuhan protein hewani mereka,” jelas Heria.
DP3AKB juga menggandeng para kader keluarga berencana, tokoh masyarakat, serta posyandu dalam pelaksanaan program di lapangan. Para kader ini berperan memberikan penyuluhan, mendampingi keluarga sasaran, dan membantu memantau perkembangan anak secara berkala.
Selain itu, pendekatan yang digunakan tidak hanya fokus pada aspek gizi, tetapi juga menyangkut pola asuh, sanitasi, dan kesehatan lingkungan. DP3AKB percaya bahwa pencegahan stunting harus dilakukan secara holistik, melibatkan perubahan perilaku keluarga dan komunitas secara bertahap.
Heria menambahkan bahwa hingga pertengahan tahun 2025, kasus stunting di Balikpapan tercatat berada di angka sekitar 20 kasus. Meski jumlahnya relatif rendah dibandingkan dengan daerah lain, Pemkot Balikpapan tetap menargetkan penurunan yang lebih signifikan sebagai bagian dari komitmen nasional dalam mencapai nol stunting.
“Kita ingin menjaga angka ini agar tidak meningkat. Justru kalau bisa, ditekan terus hingga mendekati nol. Itu hanya bisa dilakukan kalau seluruh pihak bergerak bersama, termasuk keluarga sebagai garda terdepan,” ungkapnya.
Ia berharap kolaborasi antarinstansi, peran serta masyarakat, serta program-program berbasis edukasi keluarga bisa terus berjalan secara konsisten. Menurutnya, upaya mencegah stunting tidak cukup hanya dengan kampanye sesaat, tetapi memerlukan proses jangka panjang yang berkelanjutan.
“Stunting tidak hanya berdampak pada kondisi tubuh anak hari ini, tapi juga masa depannya. Anak yang stunting rentan mengalami keterlambatan perkembangan dan berkurangnya potensi produktivitas saat dewasa. Maka pencegahan jauh lebih baik daripada penanganan,” tutup Heria. (*/oc)