BALIKPAPAN, Headlinews.id – Rumah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak, tetapi kenyataannya banyak kasus kekerasan seksual melibatkan orang terdekat. Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Balikpapan menekankan pentingnya edukasi dan pengawasan keluarga sejak dini, agar setiap anak bisa tumbuh dalam lingkungan yang aman dan terlindungi.
Kepala DP3AKB Balikpapan, Heria Prisni, menegaskan bahwa pelaku kekerasan seksual sering berasal dari lingkungan yang dikenal anak, mulai dari anggota keluarga, tetangga, hingga orang yang selama ini dipercaya anak.
“Anak-anak lebih rawan menjadi korban oleh orang-orang yang mereka kenal. Lingkungan rumah harus aman, mendukung, dan memberi kepercayaan, sehingga anak berani berbicara bila ada masalah,” ujar Heria, Senin (29/9/2025).
Heria menambahkan, kekerasan seksual pada anak tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga psikologis. Anak yang menjadi korban sering mengalami trauma berkepanjangan, gangguan tidur, hingga kesulitan berinteraksi sosial.
“Trauma ini bisa memengaruhi masa depan anak. Karena itu, perlindungan harus dimulai dari rumah dan lingkungan terdekat,” jelasnya.
Untuk menekan angka kekerasan, DP3AKB memperkuat jalur pelaporan. Selain hotline darurat 24 jam, pengaduan dapat dilakukan melalui jejaring di tingkat kelurahan, forum anak, hingga langsung ke dinas. Koordinasi dengan aparat penegak hukum juga ditingkatkan agar setiap laporan dapat segera ditindaklanjuti.
“Setiap laporan akan kami tangani dengan serius. Korban mendapatkan pendampingan psikologis, medis, dan hukum. Tidak ada kasus yang diabaikan,” tegas Heria.
Selain penanganan kasus, DP3AKB menyiapkan tenaga pendamping profesional yang mendukung korban dan keluarganya. Pendamping ini berperan memberikan rasa aman, membimbing proses pemulihan trauma, serta memastikan anak bisa kembali beraktivitas normal.
“Pendampingan ini penting agar korban merasa terlindungi dan bisa pulih dari trauma dengan baik,” kata Heria.
Heria menekankan bahwa pencegahan lebih penting daripada penanganan. Orang tua dan keluarga perlu membangun komunikasi yang sehat, memantau perilaku anak, serta mengajarkan perlindungan diri sejak dini.
“Anak harus memahami batas tubuhnya sendiri, berani menolak bila merasa terancam, dan tahu cara melapor. Pendidikan ini harus dilakukan terus-menerus agar anak siap menghadapi berbagai risiko,” ujarnya.
Menurut data DP3AKB, banyak kasus kekerasan seksual baru terungkap setelah korban berani melapor atau mendapatkan perhatian dari guru dan tetangga. Keberhasilan pencegahan sangat bergantung pada sinergi keluarga, sekolah, dan masyarakat.
“Kolaborasi semua pihak membuat kasus lebih cepat terdeteksi dan dicegah sebelum meluas. Setiap orang harus peduli terhadap tanda-tanda perubahan perilaku anak,” tambah Heria.
Stigma, rasa takut, dan rasa malu sering menjadi penghambat korban untuk melapor. “Korban sering merasa malu atau takut, sehingga kasus baru muncul ketika sudah parah. Kita harus ubah pandangan ini agar anak-anak berani menceritakan pengalaman mereka. Setiap anak berhak tumbuh aman, sehat, dan bahagia,” tegasnya.
DP3AKB mendorong sekolah dan komunitas untuk mengadakan program edukasi perlindungan anak, termasuk pelatihan guru dan tenaga pendidik, sosialisasi hak anak, serta penguatan literasi digital untuk menghadapi ancaman online. Program ini juga menekankan pentingnya pengawasan orang tua terhadap akses anak di dunia digital.
“Edukasi yang berkelanjutan memperkuat perlindungan anak dan membantu mereka lebih waspada terhadap bahaya di lingkungan maupun dunia digital,” ujar Heria.
Selain itu, DP3AKB menekankan pentingnya peran media dan masyarakat dalam menyebarkan informasi mengenai hak anak dan cara melapor bila terjadi kekerasan. Pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang peka, responsif, dan protektif terhadap anak-anak.
“Masyarakat dan media harus menjadi bagian dari sistem perlindungan anak. Dengan informasi yang tepat, anak dan keluarga bisa lebih terlindungi,” tambahnya.
DP3AKB juga menekankan pentingnya edukasi psikososial untuk keluarga. Orang tua yang mendapatkan pengetahuan tentang komunikasi efektif, manajemen stres anak, dan pengawasan perilaku akan lebih mampu mencegah kekerasan.
“Keluarga yang teredukasi akan lebih cepat mengenali tanda-tanda risiko dan melindungi anak secara optimal,” jelas Heria.
Pemerintah Kota Balikpapan berkomitmen memperkuat kerja sama lintas sektor, memperluas edukasi perlindungan anak, melatih keluarga, serta menyediakan layanan psikologis dan hukum yang lebih luas. Semua pihak diharapkan aktif terlibat agar anak-anak benar-benar terlindungi dan dapat tumbuh berkembang dengan aman, sehat, dan percaya diri.
“Kita ingin Balikpapan menjadi kota yang menempatkan hak anak sebagai prioritas utama, sehingga generasi muda bisa berkembang tanpa rasa takut dan trauma,” tutup Heria. (*)











